4.27.2009

Mencintaimu Sampai Mati




Ditulis Oleh Andibachtiyar Yusuf
Wednesday, 22 April 2009
“You can’t choose your team, it’s given by God,” tegas Antony Sutton, seorang Arsenal yang mencintai timnya melebihi apapun yang ia ketahui. Saya mengenalnya 2 tahun belakangan ini dan semakin memahami bagaimana sepakbola telah menjadi bagian dari identitas seseorang. “Seperti darah yang ada di dalam tubuh ini, ia tidak akan pernah pergi dan saya tidak akan pernah memberikannya tanpa perlawanan,” ujar Mick Darnby pria asal London tetangga sebelah rumah yang saya kenal sebagai seorang pencinta Charlton sejati.

Seperti itulah manusia mengenal sepakbola, sesuatu yang disebut permainan oleh banyak orang namun merupakan identitas bagi lebih banyak lagi manusia lainnya. “Tidak ada yang bisa menyebut nama penemu sepakbola, karena saya yakin sang penemu adalah Tuhan sendiri,” desah Hugo Sanchez, legenda sepakbola asal Mexico tentang permainan yang telah memberi segala hal luar biasa dalam hidupnya. “Kesenangan bermain sepakbola jauh melebihi apapun,” tegasnya

“Gue cinta mati pada Persija….dan gue……cinta Desi,” tegas Rangga pada Agus Purnomo. Keduanya adalah tokoh rekaan yang saya ciptakan untuk mengabadikan kecintaan kita pada sepakbola kedalam medium film. Saya memang bukan yang pertama kali melakukannya, karena Julian Gilbey pernah melakukannya lewat Rise of The Footsoldiers (2007), David Evans lewat Fever Pitch (1997) Bruno Baretto lewat Casamento de Romeu e Julieta, O (2005) namun tentu saja judul yang terus terngiang di telinga para penggila sepakbola di Indonesi Football Factory (2004) karya Nick Love yang terus saja dianggap sebagai kisah tentang para fanatik yang paling kena dengan kehidupan mereka.

Karena saya percaya bahwa sepakbola adalah hidup kita, bagaimana kita melihat kehidupan itu sendiri dan bagaimana sepakbola bisa menjadi sebuah refleksi kemasyarakatan. Dari situlah semua ide itu berasal, dari hal-hal yang sering dianggap kecil oleh banyak orang, namun justru sangat besar orang oleh banyak orang lainnya. Saya memulai ide ini dari sebuah premis yang sangat sederhana dan boleh jadi serupa dengan premis saat Nick Hornby menulis novelnya yang sangat terkenal Fever Pitch (1992) “Saya mencintai wanita seperti saya mencintai 11 orang di lapangan sepakbola,”

Ranggamone Larico adalah seorang fanatik Persija, cintanya pada Persija melebihi apapun yang ada di dunia ini. Seperti para fanatik lainnya, Rangga juga membenci siapapun yang membenci timnya dan tak pernah segan-segan melakukan kekerasan, seperti yang juga dilakukan oleh banyak fanatik lain di berbagai belahan dunia. Tak ada hal yang ia mengerti lagi selain tentang tim kesayangannya bahkan lingkungannya pun hanyalah teman-teman penggila sepakbola dengan latar tim yang sama, kecuali satu orang…Agus Purnomo yang tanpa henti terus berkata pada Rangga “Fanatisme yang membuat semuanya jadi ugal-ugalan, coba kalo gak ada fanatisme, idup lo aman-aman aja kan?”

Namun hidupnya berputar 360 derajat saat hatinya tergerak untuk mencintai Desi Kasih Purnamasari, gadis Bandung yang besar dalam lingkungan pencinta Persib. Adik dari Parman seorang yang cukup dituakan di kalangan pendukung Persib. Desi besar dalam kehidupan yang memuja warna biru yang dikenakan oleh Persib, seluruh waktunya dicurahkan untuk mendukung tim asal Bandung tersebut. Sejak kecil terus diajak oleh sang kakak yang berselisih usia nyaris 20 tahun, Desi mencintai Persib seperti cintanya pada keluarganya.

Jika kemudian ia jatuh cinta pada Rangga, cinta Desi para timnya tidak pernah luntur. Sama seperti cinta Rangga padanya yang seolah terbagi dengan cintanya pada si oranye, Persija. Pertentangan keduanya kemudian membawa mereka pada kenyataan bahwa kedua belah kelompok adalah pihak yang sama sekali tidak kenal kompromi pada perbedaan yang mereka miliki. Pertentangan dan permusuhan yang terjadi telah mengkotakkan mereka, seperti juga agama yang dengan tegas mampu memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang sangat tegas.

Adaptasi karya agung Shakespeare ala kehidupan sepakbola Indonesia ini adalah sebuah potret bagaimana kehidupan kebanyakan kita saat ini berjalan. Bergerak penuh gelora di tengah kekacauan hubungan kedua belah pihak yang biasa menjadi pilar hidup mereka adalah sebuah kekalutan, namun….Rangga dan Desi (nama yang saya pilih untuk menggantikan Romeo dan Juliet) memilih untuk berkata “Aku mencintaimu sampai mati,” daripada menyerah pada keadaan.

Romeo Juliet (2009) adalah karya panjang saya yang ketiga, setelah dua dokumenter yang juga saya buat untuk menghormati sepakbola dan para fanatisnya. The Jak (2007) adalah sebuah esai tentang Jakarta dan kegelisahannya, The Conductors (2008) adalah sebuah esai tentang kepemimpinan yang terus dianggap krisis di negeri ini. Sementara itu, karya ketiga ini saya buat sebagai sebuah penghormatan terhadap cinta sekaligus tentang kekuatannya yang mengguncangkan.

“Jika saja Shakespeare masih hidup, dia akan menyesal tidak membuat penutup seperti film ini,” ujar Edmond Waworuntu, production designer Romeo Juliet saat kami masih dalam tahapan mempersiapkan film ini. Baginya kisah ini adalah sebuah pertentangan batin seorang laki-laki saat ia harus memilih diantara cintanya pada wanita yang sangat ia cinta dan tim yang sangat ia gilai. Saya sendiri sangat menggilai karya-karya William Shakespeare, sastrawan Inggris yang menurut saya selalu dengan lugas mampu bercerita tentang kegalauan, kecemasan, pertanyaan dan tragedi. “Kisah Romeo & Juliet adalah tragedi percintaan dan kejamnya perbedaan,” tulis The Guardian di Inggris saat versi milik Baz Luhrmann, Romeo + Juliet lahir di tahun 1996.

Saat itu, beberapa kritikus seni asal Inggris juga sempat menyebutkan bahwa Baz tidak mengadaptasi kisah legendaris ini dengan baik. “Hanya orang Inggris yang memahami bagaimana karya Shakespeare harus digambarkan,” tentu ini merujuk pada Australia negeri asal sutradara yang kemudian semakin melejit dengan Moulin Rouge (2001). Jika Baz memilih untuk setia pada semua alur cerita, maka saya memilih untuk setia pada plot serta membumikan dan mengindonesiakan semua karakter yang ada dalam karya saya ini.

Di tangan saya, kisah klasik ini menjadi sangat Indonesia dan lokal. Saya tentu mengelak dari tanggung jawab harus setia pada segala aturan main Shakespeare lengkap dengan penggunaan kata-kata puitisnya. Saya lebih memilih untuk menjadikan semua dialog menjadi kalimat sehari-hari dengan setting cerita yang juga sangat sehari-hari. Maka saya buanglah adegan legendaris pertemuan kedua sejoli ini diatas balkon, saya ganti juga nama pasangan ini dengan alasan yang sama….rasa ke Indonesiaan!

Kemudian saya bumikan juga kelas sosial dan pertentangan yang terjadi. Keluarga kaya Capulet dan keluarga kaya Montague saya ganti dengan situasi sosial masyarakat kita dengan sepakbola sebagai latar utama. Jadilah Romeo Juliet ala Indonesia, sebuah karya yang saya harapkan suatu hari bisa menjadi petunjuk apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita saat ini, situasi kekinian yang memang seharusnya tergambar dari karya-karya sinema yang ada. “Situasi sebuah masyarakat pada suatu era, selalu terekam dalam film yang muncul di saat itu,” ujar Usmar Ismail, bapak sinema Indonesia.

Bagi saya, fanatisme adalah situasi kekinian yang terjadi dalam masyarakat kita. Lihat bagaimana sikap fanatisme telah dengan mudah membakar jiwa kita untuk membenci golongan lain, bagaimana juga kita jadi terlihat berbeda hanya karena apa yang kita percayai tidak sama dengan yang orang lain percayai. Lihat juga, bagaimana kehidupan sosial dan berkesenian kita yang sangat terbatas hanya karena pengaruh kuat fanatisme.

Saya sama sekali tidak anti pada fanatisme, karena saya percaya fanatik adalah sebuah kebaikan, namun jika fanatisme ada dalam hati maka ia akan menjadi hal yang sangat baik, namun jika dibiarkan keluar dan mengintimidasi orang lain, maka fanatisme yang kita punya berpotensi menjadi bahaya. Pada tanggal 23 April 2009, Anda bisa melihat karya saya tentang fanatisme….Romeo Juliet.
I Love You Until My Last Breath.......

ROMEO JULIET - A Three In One Movie



Sutradara Andi Bachtiar Yusuf sukses mempersembahkan film ke-3 yang diputar perdana / premiere untuk undangan pada tanggal 18 April 2009 di Studio 21 Blok M Plaza. Film yang berjudul Romeo Juliet ini dibintangi oleh Alex Komang, Nani Wijaya, Edo Borne, Sissy Priscilla, dan Ramon Y. Tungka. Tema film ini menarik perhatian publik karena mengisahkan perseteruan antar kelompok supporter sepakbola terbesar dari Jakarta dan Bandung yaitu Jakmania dan Viking. Secara mudah hal ini dikenali dari berbagai atribut yang dikenakan oleh para pemain film ini namun tidak menggambarkan kebijakan organisasi masing-masing. Pemutaran perdana film tersebut dilakukan di studio 1 dan 6 dan dipenuhi para penonton baik dari kalangan sepakbola, pengamat film dan pers. Beberapa crew dari TV nasional dan berlangganan terlihat sibuk mewancarai sutradara film ini sebelum penayangan.
Film pertama dan kedua karya sutradara Andi Bachtiar Yusuf masih merupakan film dokumenter dengan judul The Jak. Kebetulan saya juga sempat menyaksikannya di Bioskop Blitz Grand Indonesia meski saat itu sepi penonton karena sebelumnya film tersebut sudah pernah ditayangkan untuk umum di Gedung Kementrian Seni dan Budaya Jakarta Pusat. Keingintahuan itu berlanjut dengan mengoleksi VCD film The Jak dan The Conductors yang direlease tahun 2007 dan 2008.

Pada akhir tahun lalu, saya pernah menyaksikan pengambilan gambarnya di Stadion Lebak Bulus, dan teman-teman pendukung Persija yang hadir merayakan ulang tahun Persija ke-80 lalu juga sempat menyaksikan cuplikannya. Dari sinilah kemudian saya melihat adanya ide yang bagus dalam film ini meski harus jujur bahwa penggunaan teknologi perfilman disini masih terbatas. Besarnya kesempatan melakukan improvisasi kepada para pemain film ini untuk berdialog secara spontan membuat film ini menjadi hidup. Hal yang tidak mudah tentunya dilakukan bagi pemain film yang tidak sepenuhnya menjiwai kehidupan supporter sepakbola.

Saya berkesempatan menyaksikan penayangan perdana film Romeo Juliet bersama istri. Berdasarkan judul film tersebut, saya punya ekspektasi akan ada kisah cinta romantis. Mengajak istri juga membantu saya untuk mendiskusikan cerita film tersebut dari perspektif yang berbeda yaitu orang yang awam tentang perseteruan antar supporter sepakbola. Harapannya film ini tidak hanya disaksikan oleh insan sepakbola nasional tapi juga masyarakat umum yang jarang bersentuhan dengan perkembangan dunia supporter sepakbola nasional.

Dialog dalam film ini dilakukan dalam 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Sunda pada masing-masing kelompok supporter sementara bagi penonton asing juga dapat mengikuti cerita film ini karena terdapat text berbahasa Inggris. Terkait dengan judul artikel diatas, saya yakin ada penonton yang merasa puas menyaksikan film tersebut karena tidak hanya mendapatkan cerita tentang cinta Rangga dan Desi tetapi juga 2 hal lain yaitu kekerasan dan komedi. Namun mungkin juga ada yang kecewa karena kadar kisah cinta dalam film ini sangat sedikit dibandingkan adegan kekerasan.

Proses cinta Rangga dan Desi sangat disederhanakan sehingga agak tidak logis saat mereka dengan cepat saling tertarik sampai melakukan hal-hal yang dianggap tabu oleh sebagian orang atau mungkin dianggap sebuah kelaziman oleh sebagian orang yang lain dalam kehidupan cinta remaja saat ini. Sementara, dalam hal kekerasan, film 17 tahun keatas ini menyajikan banyak adegan perkelahian massal antar kedua kelompok supporter. Kata-kata umpatan sering sekali diucapkan dalam film ini sehingga secara keseluruhan hendaknya penonton film ini bisa mengambil makna dari pesan yang disampaikan dalam film ini yaitu cinta kepada pasangan dapat berjalan bersama dengan kecintaan kepada klub favorit kita. Apalagi di era borderless world sekarang ini tidak ada lagi doktrinisasi. Generasi penerus bebas memilih teman hidup dan berbeda klub favorit dengan orang tua mereka. Cross-Culture Married baik antar suku, ras, negara, ras sudah mendapat tempat yang luas di masyarakat. Perbedaan tersebut diharapkan dapat mensinergikan kelebihan masing-masing dan dapat belajar memahami dan menerima perbedaan yang ada dalam diri masing-masing manusia.

Credit point tersendiri bagi film ini adalah adanya unsur komedi berupa lelucon-lelucon dari kedua belah pihak yang berseteru (gaya Jakarta dan Bandung) maupun terkait dengan keindahan wanita (mungkin saja juga dianggap sebagai unsur pemaknaan yang berlebihan dari kaum lak-laki kepada wanita sehingga timbul kesan lain). Lupakanlah faktor perseteruan jika Anda ingin menikmati lelucon-lelucon berkaitan dengan perbedaan budaya.

Applause dan selamat kepada Andi Bachtiar Yusuf saat selesainya film ini. Tidak ada titik akhir untuk sebuah kesuksesan, semoga film ini akan diikuti oleh film-film lain dengan tema sepakbola dan supporternya. Diam dan mengumpat hanya akan membelenggu idealisme. Keterbatasan scope cerita film ini semoga tidak dikesankan oleh penonton film ini sebagai sebuah keterwakilan sosok supporter Jakmania dan Viking secara keseluruhan. Selalu saja ada fraksi yang radikal dan moderat dalam sebuah kelompok.

Dukunglah klub anda secara sportif, setialah kemanapun mereka bertanding sampai mati tanpa mengorbankan hak orang lain.

Jangan lestarikan permusuhan karena terbukti telah menghilangkan kesempatan menemani klub dan menyuburkan kekerasan. Pada akhirnya provokatorlah yang akan tertawa lebar.

Selamat menonton dan mengkritisi film Romeo Juliet, yang akan diputar serentak di Bioskop 21 di seluruh Indonesia mulai tanggal Kamis 23 April 2009.

Sudahkah Persija Milik Orang Jakarta?




Ditulis Oleh Doel Macan
Saturday, 18 April 2009
Oke kenapa gue tulis judul demikian diatas?,sebagai bahan renungan kita saja. Mari kita berkaca dari berbagai sisi.Kegagalan demi kegagalan gelaran partai kandang. Kita cermati dari beberapa aspek.

1.Ijin : ini yang paling terpenting menyangkut semua elemen.Panpel,keamanan dan Supporter.Tidak bisa dipungkiri Persija mampu menyedot animo penonton yang tidak sedikit,kinerja aparat yang terkait akan semakin berat jika kuota penonton melebihi batas.

2.Panpel : Biasanya bekerja melalui mekanisme yang sudah tersetting dengan rapi.Melibatkan aparat keamanan tentunya(hanya usul kalo bisa semua elemen masyarakat dilibatkan).


3. Birokrasi : Ini yang berat,suka atau tidak para PersijaLovers harus menerima.Seperti kasus hangat yang sekarang bergulir.Karena hajatan rakyat lima tahun sekali, semua bentuk ajang di negeri ini terhenti.Tidak terkecuali hiburan rakyat (sepakbola).

Yang disayangkan ,semua jargon politik kadang kala menumpang kendaran komunitas supporter,walaupun ngga semua begitu.Kadang juga mengorbankan banyak kepentingan orang banyak.Ibarat makan buah simalakama.Satu sisi banyak yang berkecimpung langsung dipolitik,disisi lain banyak juga yang antipati,dalam kerangka supporter tentunya.

Otomatis Persija lover harus membuka atribut orange dan berganti menjadi warna-warni politik.Tidak ada yang salah,sebagai warga negara yang baik kita berhak ikut menentukan nasib bangsa kedepan.Tapi yang ditakutkan demi kepentingan politik kita jadi berlawanan arah.Hemat saya jangan berpolitik praktis cukup penggembira saja.



Sekarang kita semua harus terus menunggu kapan kepastian perijinan bisa didapat.Secara tidak langsung kita(persija lovers) terbelenggu oleh aturan birokrat,yang lebih gawat lagi,ngga ada satupun birokrat yang peduli.Manisnya masa kampanye pilkada harus menjadi pil pahit buat kita sekarang ini.

Lalu dimana kita? dimana jakmania secara struktural?d imana orang Jakarta yang cinta Persija? Seperti mati suri,Saya yakin banyak orang Jakarta yang menganggap Persija tuh ngga penting,karena itu tadi .Kita hanya diam dan diam disaat hak kita terbelenggu,hak untuk menikmati sepakbola negeri.Kenapa Jakmania hanya jadi komunitas,kenapa Jakmania hanya jadi organisasi.Elok kiranya jika Jakmania adalah darah dan nafas orang Jakarta.Persija jadi harga diri orang Jakarta.

Mari semua kita intropeksi diri ,jadikan Persija jiwa dan ciri khas orang Jakarta.

Pluralisme di Jakarta jadikan ikatan persaudaraan.

Satu Jakarta Satu.

Jakarta Kota Gue

Oren Warna Gue

Persija Kebanggaan Gue

Sampai Mati

Tetap Gue…..
Wassalam

R.I.P : Matinya Sepakbola Indonesia




Sepakbola merupakan olahraga terbesar yang banyak diminati oleh berbagai kalangan, tua, muda, pria, wanita, besar maupun kecil di seantero jagad raya ini, tak terkecuali di Indonesia yang berpenduduk ± 200 juta jiwa ini. Sepakbola menjadi hiburan yang sangat berarti bagi rakyat Indonesia umumnya dan khususnya di Jakarta yang menjadi barometer sepakbola tanah air.
Rakyat kecil umumnya dikalangan menengah ke bawah, butuh dan haus akan hiburan untuk melupakan sejenak masalah pelik yang sering hinggap di benak dan pikiran mereka. Di Jakarta banyak tempat hiburan tumbuh subur dan menjamur, namun apakah mereka sanggup atau mampu untuk menikmatinya dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan ?. Tapi dengan harga tiket pertandingan sepakbola yang besarannya antara 10 – 30 ribu, mereka rela sisihkan setiap minggunya untuk menyaksikan tim kesayangan dan kebanggaan mereka. Dari sepakbola roda perekonomian berjalan dengan baik, masyarkat kecil dapat meraih keuntungan dari olahraga ini, mulai dari para pedagang yang menjual atribut, supir bis dan kondekturnya, pedagang makanan dan minuman, bahkan panpel pertandingan dan yang pasti para pemain dapat menunjukkan kemampuannya. Namun, kini impian untuk menyaksikan tim kesayangan dan kebanggaan berlaga pupus sudah, hiburan yang setiap minggu hadir mengisi kehidupan mereka sudah tidak ada lagi.

Sepakbola sudah dikalahkan oleh agenda politik tanah air ini, agenda kampanye parpol dilanjutkan dengan pemilihan umum menjadi alasan utama pihak keamanan dalam hal ini Kepolisian yang seharusnya dapat memberikan rasa aman tidak dapat memberikan jaminan keamanan untuk menggelar sebuah pertandingan sepakbola dengan tidak dikeluarkannya izin menggelar pertandingan sepakbola.


Kepolisian yang katanya pengayom masyarakat, penegak hukum seperti yang tertulis di Undang-undang tentang Kepolisan serta Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menegaskan bahwa Polri merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok penegakan hukum, ketertiban umum, dan memelihara keamanan dalam negeri. Kepolisan harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa semua tindakan dalam rangka penegakan hukum harus dapat dirasakan sebagai suatu penegakan keadilan bagi masyarakat. Suatu keputusan yang diambil oleh polisi dianggap adil oleh masyarakat apabila mekanisme kontrol horizontal berjalan efektif.


Namun, dengan kondisi ini Kepolisian bersikap sangat tidak adil pada masyarakat, khususnya masyarakat sepakbola dengan keputusannya yang tidak memberikan izin untuk menggelar suatu pertandingan dengan alasan apapun, Kepolisian sepertinya ingin menghindar dari tugas dan tanggung jawabnya, aparat yang katanya profesional pun tidak mampu menunjukkan keprofesionalannya, pertandingan belum digelar tapi aparat sudah menyatakan tidak sanggup menjaga keamanan karena kekhawatiran akan terjadi kerusuhan. Suatu hal yang belum terjadi namun aparat sudah merasa khawatir, sebagai aparat keamanan yang seyogyanya memberikan rasa aman kepada masyarakat.


PSSI yang tengah ber-ulang tahun ini (red. 19 April 2009), merupakan institusi yang paling bertanggung jawab atas matinya sepakbola di tanah air ini. PSSI dan BLI jelas tidak melakukan koordinasi dengan baik pada pihak Kepolisian yang menjamin keamanan suatu pertandingan.


Kompetisi yang carut marut, format kompetisi yang tidak jelas (baku) tiap tahunnya, jadwal yang terus berubah hingga buruknya kinerja aparat pengadil menjadi catatan tersendiri yang harus dibenahi bagi institusi yang telah 79 tahun berdiri ini. Namun, dengan kondisi seperti itu PSSI berani untuk maju mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 nanti. Impian yang indah, semoga mimpi itu dapat menjadi kenyataan.

10.07.2008

Tersandung di Wamena


Macan Kemayoran kembali tidak berdaya dalam lawatan tandangnya di lanjutan pertandingan kompetisi ISL 2008, setelah Senin (6/10) sore ini ditaklukan oleh tuan rumah Persiwa Wamena dengan skor tipis 1-2 di stadion Pendidikan, Wamena.
Persija yang turun dengan formasi berbeda 3-5-2 dari biasanya yang sering dipakai 4-4-2. Terlihat begitu sulit untuk beradaptasi lagi dengan formasi ini. Babak pertama tim kebanggaan kota oren ini harus ketinggalan 0-2. Gol pertama Persiwa tercipta akibat kurang sigapnya Leonard Tupamahu dalam menutup pergerakan penyerang tuan rumah, Leo terlambat mengantisipasi bola hingga melewati kepalanya dan bola disambar oleh striker Persiwa yang berdiri tepat dibelakangnya, bola berhasil disundul dan dipantulkan ke tanah hingga mengecoh kipper Hendro Kartiko. Dan gol kedua pun tercipta kembali, barisan penyerang Persiwa berhasil memperdayai Hendro karena kesalahannya sendiri.

Memasuki babak kedua pelatih Persija Danurwindo, memasukkan Aliyudin menggantikan Wayan Mudana. Masuknya Ali memberi nafas baru, serangan-serangan Persija menjadi lebih hidup, bahkan Aliyudin dapat memperkecil ketertinggalan menjadi 1-2. Beberapa peluang lainpun tercipta namun, ternyata tim ibukota ini tidak hanya bermain dengan 11 orang, karena sikap wasit yang dinilai kurang fair, beberapa kali barisan depan Persija dilanggar namun wasit tidak meniupkan pluitnya, Robertino yang dijatuhkan dan dilanggar di kotak penalti tapi bola keuntungan diberikan untuk Persiwa, beberapa kali pula pemain Persija dianggap offside, bahkan gol kedua yang diciptakan oleh Aliyudin pun harus dianulir karena dianggap telah berada dalam posisi offside. Sampai pluit terakhir dibunyikan Persija akhirnya harus kehilangan angka di tanah Wamena.

Dalam pertandingan ini para pemain seperti Bepe dan Robertino tampil dibawah form terbaiknya, sedangkan barisan pertahanan Persija yang digalang Pierre Njanka, Abanda Herman dan Leonard Tupamahu juga menjadi perhatian karena terlihat kurang padu, begitu terang asisten manajer Persija Ferry Indrasjarief (Bung Ferry) melalui telephon pada crew JO. Bung Ferry juga menambahkan walau pertandingan ini Persija kalah, wasit bukanlah menjadi faktor utama penyebab kekalahan Persija. Para pemain harus lebih siap lagi dan disiplin dalam bermain.

9.20.2008

Persija Pimpin Klasemen


Persija Jakarta berhasil memimpin klasemen Liga Super Indonesia 2008/2009 setelah dalam pertandingan hari Minggu, 10 Agustus 2008 mengalahkan tuan rumah Sriwijaya FC dengan skor 2-1.Keberhasilan mengambil alih pimpinan klasemen tidak lepas dari imbangnya hasil pertandingan antara PSM melawan Persipura 1-1.

Dengan kemenangan ini Persija meraih poin sempurna 12 dari hasil 4 kali bertandingan, yang hebatnya semua pertandingan tersebut adalah partai tandang Persija Jakarta.

Gol pertama untuk kesebelasan Persija diciptakan melalui tendangan Greg Nwokolo di menit ke-36 pada pertandingan yang berlangsung seru tersebut. Sebenarnya peluang untuk kesebelasan Laskar Sriwijaya cukup banyak seperti pada menit ke-15 pertandingan babak pertama, namun, Nogn gagal memasukan bola melalui sundulannya. Dengan kemasukan satu gol tersebut membuat tim tuan rumah berbenah diri, namun belum juga mampu memciptakan gol balasan.

Pelatih Sriwijaya FC, Rahmad Darmawan kembali merubah teknik dan taktik sehingga pada menit ke 57, Kith Kayamba berhasil memasukan sikulit bundar dalam tendangan pinalti sehingga kedudukan menjadi imbang 1-1. Pinalti ini sebenarnya berbau kontroversial karena terlihat pemain Sriwijaya FC yaitu Ngon mendorong Supriono, bahkan gara gara memprotes terlalu keras keputusan pinalti wasit ini, kapten tim Bambang Pamungkas harus memperoleh kartu kuning. Pertandingan terus berlanjut dan kedua kesebelasan sama-sama tampil ngotot untuk menjadi menambah gol, tetapi hingga babak pertama berakhir kedudukan masih imbang.

Pada babak kedua, kesebelasan tamu kembali melancarkan serangan dan bola sering berada di pertahanan klub Sriwijaya, milik masyarakat Sumsel itu. Di menit-menit terakhir pertandingan, Persija kembali meningkatkan tempo permainan sehingga membuat kesebelasan Sriwijaya FC kecolongan. Gol Persija tercipta lewat Pierre Njanka sehingga kedudukan pun berubah menjadi 2-1.

Dalam pertandingan, wasit Djumadi Effendi memberikan tujuh kartu kuning masing-masing satu untuk kesebelasan tuan rumah, Sriwijaya FC dan enam untuk Persija Jakarta.

Sudah Kubilang Jangan Melawan Persija
Sekarang Sriwijayapun merasakan akibatnya
Baiknya kamu diam di rumah saja
Duduk yang manis nonton di layar kaca

Siapa yang suruh melawan Persija
Siapa yang suruh melawan Persija

"Romeo Juliet"...Perseteruan Jakmania vs Viking


Setelah sukses dengan Film Trilogy Jakmania, Andibachtiar Yusuf "Ucup" kembali menggarap film bertemakan suporter sepakbola Indonesia. Kali ini tema yang diambil adalah tema percintaan dua remaja dengan latar belakang perseteruan antara kedua pendukung kesebelasan Persija dan Persib.

Film yang masih dalam garapan ini selain melibatkan pengurus Jakmania juga melibatkan beberapa komunitas Jakmania seperti Garis Keras, Jak Scooter, Jak Online. Website www.jakmania.org rencananya akan diakses dalam salah satu scene dalam film tersebut.

Foto-foto mengenai proses pembuatan film ini dapat dilihat di url http://www.detikhot.com/readfoto/2008/09/01/143343/998298/431/5/