4.27.2009
Mencintaimu Sampai Mati
Ditulis Oleh Andibachtiyar Yusuf
Wednesday, 22 April 2009
“You can’t choose your team, it’s given by God,” tegas Antony Sutton, seorang Arsenal yang mencintai timnya melebihi apapun yang ia ketahui. Saya mengenalnya 2 tahun belakangan ini dan semakin memahami bagaimana sepakbola telah menjadi bagian dari identitas seseorang. “Seperti darah yang ada di dalam tubuh ini, ia tidak akan pernah pergi dan saya tidak akan pernah memberikannya tanpa perlawanan,” ujar Mick Darnby pria asal London tetangga sebelah rumah yang saya kenal sebagai seorang pencinta Charlton sejati.
Seperti itulah manusia mengenal sepakbola, sesuatu yang disebut permainan oleh banyak orang namun merupakan identitas bagi lebih banyak lagi manusia lainnya. “Tidak ada yang bisa menyebut nama penemu sepakbola, karena saya yakin sang penemu adalah Tuhan sendiri,” desah Hugo Sanchez, legenda sepakbola asal Mexico tentang permainan yang telah memberi segala hal luar biasa dalam hidupnya. “Kesenangan bermain sepakbola jauh melebihi apapun,” tegasnya
“Gue cinta mati pada Persija….dan gue……cinta Desi,” tegas Rangga pada Agus Purnomo. Keduanya adalah tokoh rekaan yang saya ciptakan untuk mengabadikan kecintaan kita pada sepakbola kedalam medium film. Saya memang bukan yang pertama kali melakukannya, karena Julian Gilbey pernah melakukannya lewat Rise of The Footsoldiers (2007), David Evans lewat Fever Pitch (1997) Bruno Baretto lewat Casamento de Romeu e Julieta, O (2005) namun tentu saja judul yang terus terngiang di telinga para penggila sepakbola di Indonesi Football Factory (2004) karya Nick Love yang terus saja dianggap sebagai kisah tentang para fanatik yang paling kena dengan kehidupan mereka.
Karena saya percaya bahwa sepakbola adalah hidup kita, bagaimana kita melihat kehidupan itu sendiri dan bagaimana sepakbola bisa menjadi sebuah refleksi kemasyarakatan. Dari situlah semua ide itu berasal, dari hal-hal yang sering dianggap kecil oleh banyak orang, namun justru sangat besar orang oleh banyak orang lainnya. Saya memulai ide ini dari sebuah premis yang sangat sederhana dan boleh jadi serupa dengan premis saat Nick Hornby menulis novelnya yang sangat terkenal Fever Pitch (1992) “Saya mencintai wanita seperti saya mencintai 11 orang di lapangan sepakbola,”
Ranggamone Larico adalah seorang fanatik Persija, cintanya pada Persija melebihi apapun yang ada di dunia ini. Seperti para fanatik lainnya, Rangga juga membenci siapapun yang membenci timnya dan tak pernah segan-segan melakukan kekerasan, seperti yang juga dilakukan oleh banyak fanatik lain di berbagai belahan dunia. Tak ada hal yang ia mengerti lagi selain tentang tim kesayangannya bahkan lingkungannya pun hanyalah teman-teman penggila sepakbola dengan latar tim yang sama, kecuali satu orang…Agus Purnomo yang tanpa henti terus berkata pada Rangga “Fanatisme yang membuat semuanya jadi ugal-ugalan, coba kalo gak ada fanatisme, idup lo aman-aman aja kan?”
Namun hidupnya berputar 360 derajat saat hatinya tergerak untuk mencintai Desi Kasih Purnamasari, gadis Bandung yang besar dalam lingkungan pencinta Persib. Adik dari Parman seorang yang cukup dituakan di kalangan pendukung Persib. Desi besar dalam kehidupan yang memuja warna biru yang dikenakan oleh Persib, seluruh waktunya dicurahkan untuk mendukung tim asal Bandung tersebut. Sejak kecil terus diajak oleh sang kakak yang berselisih usia nyaris 20 tahun, Desi mencintai Persib seperti cintanya pada keluarganya.
Jika kemudian ia jatuh cinta pada Rangga, cinta Desi para timnya tidak pernah luntur. Sama seperti cinta Rangga padanya yang seolah terbagi dengan cintanya pada si oranye, Persija. Pertentangan keduanya kemudian membawa mereka pada kenyataan bahwa kedua belah kelompok adalah pihak yang sama sekali tidak kenal kompromi pada perbedaan yang mereka miliki. Pertentangan dan permusuhan yang terjadi telah mengkotakkan mereka, seperti juga agama yang dengan tegas mampu memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang sangat tegas.
Adaptasi karya agung Shakespeare ala kehidupan sepakbola Indonesia ini adalah sebuah potret bagaimana kehidupan kebanyakan kita saat ini berjalan. Bergerak penuh gelora di tengah kekacauan hubungan kedua belah pihak yang biasa menjadi pilar hidup mereka adalah sebuah kekalutan, namun….Rangga dan Desi (nama yang saya pilih untuk menggantikan Romeo dan Juliet) memilih untuk berkata “Aku mencintaimu sampai mati,” daripada menyerah pada keadaan.
Romeo Juliet (2009) adalah karya panjang saya yang ketiga, setelah dua dokumenter yang juga saya buat untuk menghormati sepakbola dan para fanatisnya. The Jak (2007) adalah sebuah esai tentang Jakarta dan kegelisahannya, The Conductors (2008) adalah sebuah esai tentang kepemimpinan yang terus dianggap krisis di negeri ini. Sementara itu, karya ketiga ini saya buat sebagai sebuah penghormatan terhadap cinta sekaligus tentang kekuatannya yang mengguncangkan.
“Jika saja Shakespeare masih hidup, dia akan menyesal tidak membuat penutup seperti film ini,” ujar Edmond Waworuntu, production designer Romeo Juliet saat kami masih dalam tahapan mempersiapkan film ini. Baginya kisah ini adalah sebuah pertentangan batin seorang laki-laki saat ia harus memilih diantara cintanya pada wanita yang sangat ia cinta dan tim yang sangat ia gilai. Saya sendiri sangat menggilai karya-karya William Shakespeare, sastrawan Inggris yang menurut saya selalu dengan lugas mampu bercerita tentang kegalauan, kecemasan, pertanyaan dan tragedi. “Kisah Romeo & Juliet adalah tragedi percintaan dan kejamnya perbedaan,” tulis The Guardian di Inggris saat versi milik Baz Luhrmann, Romeo + Juliet lahir di tahun 1996.
Saat itu, beberapa kritikus seni asal Inggris juga sempat menyebutkan bahwa Baz tidak mengadaptasi kisah legendaris ini dengan baik. “Hanya orang Inggris yang memahami bagaimana karya Shakespeare harus digambarkan,” tentu ini merujuk pada Australia negeri asal sutradara yang kemudian semakin melejit dengan Moulin Rouge (2001). Jika Baz memilih untuk setia pada semua alur cerita, maka saya memilih untuk setia pada plot serta membumikan dan mengindonesiakan semua karakter yang ada dalam karya saya ini.
Di tangan saya, kisah klasik ini menjadi sangat Indonesia dan lokal. Saya tentu mengelak dari tanggung jawab harus setia pada segala aturan main Shakespeare lengkap dengan penggunaan kata-kata puitisnya. Saya lebih memilih untuk menjadikan semua dialog menjadi kalimat sehari-hari dengan setting cerita yang juga sangat sehari-hari. Maka saya buanglah adegan legendaris pertemuan kedua sejoli ini diatas balkon, saya ganti juga nama pasangan ini dengan alasan yang sama….rasa ke Indonesiaan!
Kemudian saya bumikan juga kelas sosial dan pertentangan yang terjadi. Keluarga kaya Capulet dan keluarga kaya Montague saya ganti dengan situasi sosial masyarakat kita dengan sepakbola sebagai latar utama. Jadilah Romeo Juliet ala Indonesia, sebuah karya yang saya harapkan suatu hari bisa menjadi petunjuk apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita saat ini, situasi kekinian yang memang seharusnya tergambar dari karya-karya sinema yang ada. “Situasi sebuah masyarakat pada suatu era, selalu terekam dalam film yang muncul di saat itu,” ujar Usmar Ismail, bapak sinema Indonesia.
Bagi saya, fanatisme adalah situasi kekinian yang terjadi dalam masyarakat kita. Lihat bagaimana sikap fanatisme telah dengan mudah membakar jiwa kita untuk membenci golongan lain, bagaimana juga kita jadi terlihat berbeda hanya karena apa yang kita percayai tidak sama dengan yang orang lain percayai. Lihat juga, bagaimana kehidupan sosial dan berkesenian kita yang sangat terbatas hanya karena pengaruh kuat fanatisme.
Saya sama sekali tidak anti pada fanatisme, karena saya percaya fanatik adalah sebuah kebaikan, namun jika fanatisme ada dalam hati maka ia akan menjadi hal yang sangat baik, namun jika dibiarkan keluar dan mengintimidasi orang lain, maka fanatisme yang kita punya berpotensi menjadi bahaya. Pada tanggal 23 April 2009, Anda bisa melihat karya saya tentang fanatisme….Romeo Juliet.
I Love You Until My Last Breath.......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar