4.27.2009
R.I.P : Matinya Sepakbola Indonesia
Sepakbola merupakan olahraga terbesar yang banyak diminati oleh berbagai kalangan, tua, muda, pria, wanita, besar maupun kecil di seantero jagad raya ini, tak terkecuali di Indonesia yang berpenduduk ± 200 juta jiwa ini. Sepakbola menjadi hiburan yang sangat berarti bagi rakyat Indonesia umumnya dan khususnya di Jakarta yang menjadi barometer sepakbola tanah air.
Rakyat kecil umumnya dikalangan menengah ke bawah, butuh dan haus akan hiburan untuk melupakan sejenak masalah pelik yang sering hinggap di benak dan pikiran mereka. Di Jakarta banyak tempat hiburan tumbuh subur dan menjamur, namun apakah mereka sanggup atau mampu untuk menikmatinya dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan ?. Tapi dengan harga tiket pertandingan sepakbola yang besarannya antara 10 – 30 ribu, mereka rela sisihkan setiap minggunya untuk menyaksikan tim kesayangan dan kebanggaan mereka. Dari sepakbola roda perekonomian berjalan dengan baik, masyarkat kecil dapat meraih keuntungan dari olahraga ini, mulai dari para pedagang yang menjual atribut, supir bis dan kondekturnya, pedagang makanan dan minuman, bahkan panpel pertandingan dan yang pasti para pemain dapat menunjukkan kemampuannya. Namun, kini impian untuk menyaksikan tim kesayangan dan kebanggaan berlaga pupus sudah, hiburan yang setiap minggu hadir mengisi kehidupan mereka sudah tidak ada lagi.
Sepakbola sudah dikalahkan oleh agenda politik tanah air ini, agenda kampanye parpol dilanjutkan dengan pemilihan umum menjadi alasan utama pihak keamanan dalam hal ini Kepolisian yang seharusnya dapat memberikan rasa aman tidak dapat memberikan jaminan keamanan untuk menggelar sebuah pertandingan sepakbola dengan tidak dikeluarkannya izin menggelar pertandingan sepakbola.
Kepolisian yang katanya pengayom masyarakat, penegak hukum seperti yang tertulis di Undang-undang tentang Kepolisan serta Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menegaskan bahwa Polri merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok penegakan hukum, ketertiban umum, dan memelihara keamanan dalam negeri. Kepolisan harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa semua tindakan dalam rangka penegakan hukum harus dapat dirasakan sebagai suatu penegakan keadilan bagi masyarakat. Suatu keputusan yang diambil oleh polisi dianggap adil oleh masyarakat apabila mekanisme kontrol horizontal berjalan efektif.
Namun, dengan kondisi ini Kepolisian bersikap sangat tidak adil pada masyarakat, khususnya masyarakat sepakbola dengan keputusannya yang tidak memberikan izin untuk menggelar suatu pertandingan dengan alasan apapun, Kepolisian sepertinya ingin menghindar dari tugas dan tanggung jawabnya, aparat yang katanya profesional pun tidak mampu menunjukkan keprofesionalannya, pertandingan belum digelar tapi aparat sudah menyatakan tidak sanggup menjaga keamanan karena kekhawatiran akan terjadi kerusuhan. Suatu hal yang belum terjadi namun aparat sudah merasa khawatir, sebagai aparat keamanan yang seyogyanya memberikan rasa aman kepada masyarakat.
PSSI yang tengah ber-ulang tahun ini (red. 19 April 2009), merupakan institusi yang paling bertanggung jawab atas matinya sepakbola di tanah air ini. PSSI dan BLI jelas tidak melakukan koordinasi dengan baik pada pihak Kepolisian yang menjamin keamanan suatu pertandingan.
Kompetisi yang carut marut, format kompetisi yang tidak jelas (baku) tiap tahunnya, jadwal yang terus berubah hingga buruknya kinerja aparat pengadil menjadi catatan tersendiri yang harus dibenahi bagi institusi yang telah 79 tahun berdiri ini. Namun, dengan kondisi seperti itu PSSI berani untuk maju mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 nanti. Impian yang indah, semoga mimpi itu dapat menjadi kenyataan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar